Nyengkelat adalah perilaku
yang tidak sehat. Istilah ini kemungkinan tidak familier pada generasi
milenial. Nyengkelat adalah kata atau istilah dari bahasa orang Sasak yang
berkonotasi dengan kebiasaan orang atau kelompok masyarakat yang tidak
menyadari bahanya buang air besar (nai) sembarangan. Kata-kata ini jamak dan
akan mudah difahami jika dibunyikan dan atau didengar oleh orang-orang tua/generasi
90-an keatas.
Praktik nyengkelat jaman
dulu berkorelasi dengan musim kemarau seperti sekarang ini. ketiadaan akses
atas air menjadi salah satu faktor pemicu kebiasaan buruk ini dilakoni oleh
orang-orang tua Sasak jaman dulu dan sampai saat ini pada wilayah-wilayah
tertentu, (mungkin saja berlaku bagi
masyarakat diluar Sasak dengan istilah yang berbeda). Selain soal hambatan
atas akses warga terhadap air, pengetahuan mereka akan penyakit yang dapat
ditimbulkan dengan kebiasaan nyengkelat tidak memadai serta akses masyarakat
terhadap jamban masih sangat terbatas. Sehingga telabah (sungai), erat (parit),
kebon (kebun), bangket (swah), leah (pekarangan) dan laut menjadi pilihan
tempat menyalurkan keinginan membuang kada’ hajat mereka.
Kini kebiasaan masyarakat
tersebut mendapatkan perhatian dari pemerintah, karena sadar dengan ragam
penyakit yang ditimbulkan oleh kebiasaan nyengkelat seperti : diare, kolera,
disentri, cacingan, tifus, gangguan saluran pencernaan dan penyakit berbahaya
lainnya.
Melawan kebiasaan nyengkelat
pemerintah mendorong lahirnya gerakan Open Defecation Free (ODF), yaitu sebuah
gerakan yang direkayasa guna mendorong setiap orang untuk tidak buang air besar
sembarangan (BABS), terutama pada tempat-tempat terbuka yang potensial
mengganggu indra penciuman dan penglihatan serta memutus penyebaran penyakit
berbasis lingkungan.
Dalam mensukseskan gerakan
ini tentu harus ada usaha yang terus-menerus untuk merubah kebiasaan masyarakat
dengan memperbanyak upaya sosialisasi dan penguatan kapasitas kepada masyarakat
sehingga mendorong lahirnya kesadaran bahwa kebiasaan nyengkelat tidak baik.
Disamping itu support dari pemerintah dalam bentuk fasilitasi jamban harus
diupayakan secara maksimal dan terus menerus melalui penyiapan anggaran di
APBN, APBD maupun di APBDes, sampai terbentuk kemandirian dan tidak ada lagi praktik
nyengkelat dimasyarakat. Juga dapat didorong adanya dukungan dari pihak
pengusaha dan swasta menyalurkan CSR-nya untuk penyediaan jamban bagi
masyarakat baik yang sifatnya perorangan maupun jamban kolektif yang bisa
dimanfaatkan banyak orang.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
Lombok Timur bersama pemerintah desanya yang mendorong gerakan Open Defecation
Free (ODF), dengan mengalokasikan anggaran pada APBDesnya, patut didukung dan
diapresiasi.
Penulis : Ketua Lakpesdam PWNU NTB