Lahirnya
Homo Sacer Dalam Sebuah Kuasa Kedaulatan
Secara
singkat homo sacer adalah figur politik pada hukum yunani kuno yang terlahir
karena pengecualian-pengeculian dari kuasa kedaulatan. Ia dipandang sebagai
makluk suci yang boleh dibunuh namun tidak buleh dikorbankan dalam
ritual-ritual keagamaan. Pembunuh Homo Sacer tidak akan dipidanakan karena
dalam hukum yunani kuno ia adalah bagian yang bukan dianggap bagian artinya
keberadaanya tidak dianggap sama sekali. Namun untuk memahami fenomena lahirnya
Homo Sacer tersebut maka perlu memahami kata kunci-kata kunci yang dipopulerkan
oleh Giorgio Agamben dengan sebutan zeo, Bios, sovereign power, state of
exception dan bare life.
Marilah
kita berangkat dari pembahasan tentang Zoe. Zoe adalah keadaan alamiah manusia,
binatang serta tumbuh-tumbuhan yang bergantung pada hukum alam. Manusia pada
waktu itu saling menikam sebagaimana Thomas Hobbes dalam karyanya berjudul De
Civa menggambarkan manusia sebagai Homo Homini Lupus “manusia adalah serigala
bagi manusia yang lainnya”. Ketika hidup nomaden (hidup berpindah-pindah),
mereka berkelompok-kelompok untuk mencari buruan. Setiap kelompok akan
menyerang kelompok lainnya demi mempertahankan hidup mereka.
Kehidupan
alami seperti itu lambat laun berubah dari yang nomaden menjadi hidup bercocok
tanam. Namun ketika musim kering hingga melahirkan krisis, penjarahanpun
terjadi. Oleh sebab itulah dibutuhkan kontrak sosial antar semua orang. Dari
kontrak sosial tersebut segala hal menyangkut kebutuhan dasar bersama seperti
keamanan, kedamaian, sandang dan papan akan diurus oleh segelintir orang yang
dipercayai. Inilah embrio dari kedaulatan “sovereign power”. Sovereign Power
atau kuasa kedaulatan adalah semua sistem kekuasaan baik itu monarki hingga
demokrasi.
Setelah
Zoe, diksi selanjutnya adalah Bios. Bios merupakan tubuh politik seseorang yang
telah diakui karena bergabung dalam suatu kedaulatan. Setiap Bios yang telah
bergabung akan dijamin hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Bios dalam
sistem demokrasi (sovereign people: dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat)
diberikan hak memilih dan dipilih sebagai eksekutif maupun legislatif dalam
setiap pemilu.
Namun
yang sering dilupakan adalah asal mula kehidupan alami manusia ketika menjadi
Zoe. Mereka yang berkuasa memanfaatkan kuasa kedaulatan untuk memproduksi
pengecualian-pengecualian “state of exception” dalam setiap kedaruratan, baik
di dalam hukum maupun di luar hukum. Mereka yang awalnya Bios dapat seketika
dicabut hak warga negaranya karena pengecualian. Kemudian ketika Bios itu
kehilangan hak warga negaranya maka negara sudah tidak menganggapnya sama
sekali. Mereka yang kehilangan atau dicabut jubah kewarganegaraaanya akan
kehilangan segalanya, hak asasinya bahkan hak hidupnya karena mereka telah
menjadi Homo Sacer sehingga boleh dibunuh namun tidak boleh dikorbankan.
Homo
Sacer di Indonesia adalah orang-orang yang dibunuh, dibakar rumah-rumahnya
hingga terusir dari kampung halamannya akibat state of exception dari
pemerintah. Mereka yang memiliki keyakinan dan pandangan yang berbeda dengan
kalangan mainstream mayoritas dianggap sesat dan dianggap bebas untuk dilucuti
hak kewarganegaraanya.
Kebebasan, Kesadaran, Rasionalitas dan
Kebenaran Intersubjektif
Tugas hidup kita di dunia tidak hanya
mengetahui, namun juga dituntut untuk melakukan perubahan. Mengetahui hal-hal
abstrak, konsep, teori, menghafal kitab, rumus-rumus, hukum dan formula dalam
ilmu pengetahuan. Melakukan perubahan dengan mengajak berbuat baik dan melarang
berbuat buruk sesuai arahan moral agama, moral adat istiadat dan moral
universal.
Untuk menciptakan masyarakat yang ideal
yang penuh dengan toleransi tidak cukup dengan mengetahui konsep-konsep tentang tasamuh (toleransi), tawazun
(berkeseimbangan), i’tidâl (lurus dan
tegas), musawah (egaliter), syura (musyawarah), ishlah (reformasi), aulawiyah
(mendahulukan yang prioritas), tathawwur
wa ibtikar (dinamis dan inovatif), equal, egaliter, moderat dan lain
sebagainya. Namun bagaimana konsep ideal tersebut menjadi kesepakatan bersama, tujuan
bersama, dan terbadankan dalam setiap kebijakan baik oleh negara maupun di
dalam aturan tak tertulis di masyarakat.
Perdamaian
adalah sebuah common sense di
masyarakat. Dibutuhkan ruang publik sehat guna mendesiminasi praktik-praktik
baik dalam masyarakat yang oleh Habermas disebut dengan demokrasi delibertif.
Untuk mewujudkan ruang yang toleran dan penuh dengan nuansa demokratis maka
maka kata mensyarakatkan masyarakat yang bebas, sadar dan rasional.
Mewujudkan
masyarakat yang toleran di ruang publik dibutuhkan masyarakat yang tidak sedang
terintimidasi, mereka tidak dalam kekangan dan paksaan pihak manapun. Selain kebebasan,
masyarakat toleran juga membutuhkan kesadaran otonom yang memiliki niat dan
kehendak untuk berbuat sesuai dengan yang telah direncanakannya.
Setelah
kebebasan dan kesadaran telah terbadankan dalam setiap individu-induvidu di
ruang publik maka syarat selanjutnya adalah rasionalitas. Bahwa apa yang
disampaikan di ruang publik haruslah dapat diterima, masuk akal dan sesuai
dengan rasionalitas agama, rasionalitas ilmu pengetahuan dan common sense. Dari dialog
individu-individu di ruang publik dengan kebebasan, kesadaran dan rasionalitas
akan melahirkan kebenaran intersubjektivitas.
Dikarenakan
setiap orang membawa kebenarannya masing-masing di ruang publik, maka kebenaran
tertinggi adalah kebenaran intersubjektivitas. Semua orang tidak ingin dibunuh,
dikebiri, diganggu, dihina dan lain sebagainya yang ia juga tidak boleh
melakukan hal serupa kepada orang lain. Inilah yang oleh Immanuel Kant disebut
dengan moral universal.
Moderasi Beragama, Idealis dan Realistis
Moderasi
beragama dengan keberterimaan tanpa syarat adalah cita-cita semua manusia di
dunia ini, karena itu jejak DNA yang paling dasar dalam diri manusia adalah
kedamaian. Maka dari itu manusia harus membenci kekerasan atas nama apapun.
Manusia harus saling menghargai, menerima, menghormati dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Terciptanya gerakan moderasi beragama tidak bisa lepas
dari jalan panjang melitasi sistem sosial yang telah mengerah ke kehancuran
sistem sosial.
Berita-berita
yang disodorkan terlevisi dan di beranda-beranda media sosial tentang
kekerasan, mengusiran, bullying serta konflik sosial lainnya di masyarakat
karena perbedaan inter dan antar umat agama. Bahwa semua problem-problem sosial
yang melibatkan individu, kelompok dan organisasi dalam masyarakat bermula dari
perjumpaan yang tidak normal.
Banyak
kalangan menyangsikan gerakan moderasi beragama yang digalakkan oleh pemerintah
dengan mengatakan idealis utopis. Dengan menafikan perdamaian dan ketentraman
yang selama ini telah dinikmati bersama. Meskipun upaya moderasi beragama masih terjebak pada
narasi-narasi dalam benak kolektif para intelektual dan belum
mampu bertransformasi menjadi gerakan masif di masyarakat. Namun tanpa disadari dengan konsistensi akan bergotong
royongnya semua elemen maka akan menciptakan sebuah pola baru yang di masa
depan akan terinternalisasi pada setiap individu masyarakat Indonesia. Gerakan
moderasi haruslah menjadi persfektif seumur hidup.
Dengan prototipe masyarakat ideal sebagaimana di atas maka di dalam wadah komunitas berpraktik nilai-nilai universal dalam
Islam yang disepakati menjadi prototipe prilaku masyarakat
ideal.